Beranda | Artikel
Berkurban, Apakah Sebuah Kewajiban Atau Mustahab (Sunnah)?
Minggu, 18 Juli 2021

DALIL-DALIL DISYARIATKANNYA BERKURBAN, APAKAH MENUNJUKKAN SEBUAH KEWAJIBAN ATAU MUSTAHAB (SUNNAH)?

Pertanyaan
Saya telah membaca fatwa di website anda yang menyebutkan bahwa berkurban adalah sunnah, akan tetapi tidak terdapat dalil yang kuat pada website yang mendukung pendapat tersebut. Kami berharap apakah anda berkenan untuk menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan bahwa berkurban adalah sunnah bukan wajib ?, dan bagaimana dengan hadits berikut ini:

 مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا  ابن ماجه، الحديث 3123

Barang siapa yang mempunyai keluasan rizeki dan tidak berkurban, maka jangan pernah mendekati tempat shalat kami”. [HR. Ibnu Majah: 3123]

Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama : Pada masalah ini terdapat perbedaan pendapat yang terkenal di antara para ulama –rahimahullah-, kebanyakan di antara mereka berpendapat bahwa berkurban adalah sunnah dan tidak wajib.

Hanafiyah dan Imam Ahmad yang dipilih oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa berkurban adalah wajib bagi yang mempunyai keluasan rizeki.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa berkurban adalah sunnah muakkadah tidak wajib”.

Hal ini telah diriwayatkan dari Abu Bakr, Umar, Bilal dan Abu Mas’ud Al Badri –radhiyallahu ‘anhum-, senada dengan pendapat mereka juga pendapat Suwaid bin Ghaflah, Sa’id bin Musayyib, ‘Alqamah, Al Aswad, ‘Atha’, Asy Syafi’i, Ishak, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Rabi’ah, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Al Laits dan Abu Hanifah berkata: “Berkurban adalah wajib, berdasarkan riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

  مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا  

Barang siapa yang mempunyai keluasan rizeki dan tidak berkurban, maka jangan pernah mendekati tempat shalat kami”.

Dan dari Mikhnaf bin Sulaim bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

  يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ، فِي كُلِّ عَامٍ، أَضْحَاةً وَعَتِيرَةً 

Wahai manusia, sungguh bagi setiang anggota keluarga, pada setiap tahunnya sembelihan kurban”.

Yang sesuai dengan pendapat kami sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dengan sanad dari Ibnu Abbas dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

ثَلَاثٌ كُتِبَتْ عَلَيَّ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ – وَفِي رِوَايَةٍ  –  الْوِتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ 

Ada tiga hal yang telah diwajibkan kepadaku namun bagi kalian tetap sunnah, dan dalam riwayat yang lain: “Shalat witir, berkurban dan dua raka’at sebelum subuh”.

Dan karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda:

 مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، فَدَخَلَ الْعَشْرُ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا بَشَرَتِهِ شَيْئًا

Barang siapa yang ingin berkurban lalu sudah memasuki 10 awal bulan Dzul Hijjah, maka jangan sampai mengambil rambutnya dan dari kulitnya sedikitpun”. [HR. Muslim]

Pada hadits tersebut dikaitkan dengan keinginan sementara ibadah wajib tidak dikaitkan dengan keinginan. [Al Mughni: 11/95]

Kedua : Setiap kelompok telah menyebutkan sejumlah dalil, akan tetapi dari sisi sanadnya masih dipermasalahkan, atau masih ada perdebatan pada cara pengambilan dalil, berikut ini kami fokuskan pada hadits-hadits yang marfu’ saja:

Hadits pertama : Bagi yang berpendapat bahwa berkurban adalah wajib.
Yaitu ; hadits Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

  مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا رواه ابن ماجة  3123 

Barang siapa yang mempunyai keluasan rizeki dan tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami”. [HR. Ibnu Majah: 3123]

Para ulama hadits belum semuanya sepakat bahwa hadits tersebut marfu’, mereka menghukumi hadits tersebut merupakan ucapan Abu Hurairah, bukan ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Al Baihaqi dalam sunannya (9/260) : “Telah disampaikan kepadaku dari Abu Isa At Tirmidzi bahwa dia berkata: “Yang shahih adalah dari Abu Hurairah bahwa hadits itu adalah mauquf (berhenti di Abu Hurairah). Ia berkata: “Hadits tersebut telah diriwayatkan oleh Ja’far bin Rabi’ah dan yang lainnya dari Abdurrahman Al A’raj dari Abu Hurairah mauquf”.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata : “Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan para perawinya tsiqah (bisa dipercaya), akan tetapi berbeda pendapat dalam hal marfu’ atau mauqufnya. Sementara mauquf yang lebih benar. Disampaikan oleh Ath Thahawi dan yang lainnya namun bersamaan dengan itu belum jelas jawabannya”. [Fathul Baari: 13/98]

Ibnu Abdil Bar dan Abdul Haq telah menguatkan bahwa hadits tersebut mauquf dalam Ahkamul Wushtha: 4/127 dan Al Mundziri dalam Targhib waTarhib dan Ibnu Abdil Hadi dalam At Tanqih: 2/498. Baca juga Hasyiyatu Muhaqqiqi Sunan Ibnu Majah: 4/303.

Hadits kedua : Hadits Abi Ramlah dari Mukhnaf bin Salim sebagai hadits marfu’, yaitu;

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةً وَعَتِيرَةً رواه أبو داود  2788  والترمذي  1596  ، وابن ماجة  3125

Wahai manusia, sungguh diwajibkan bagi setiap keluarga setiap tahunnya untuk berkurban dan ‘Athiirah”. [HR. Abu Daud: 2788 dan Tirmidzi: 1596 dan Ibnu Majah: 3125]

Al ‘Athiirah adalah hewan sembelihan yang disembelih pada bulan Rajab, dinamakan juga dengan Ar Rajiibah.

Ada beberapa ulama –rahimahumullah- telah melemahkan hadits ini karena Abu Ramlah tidak dikenal dan namanya adalah ‘Amir.

Al Khithabi berkata : “Hadits ini lemah perawinya dan Abu Ramlah tidak dikenal”. [Ma’alim As Sunan: 2/226]

Az Zaila’i berkata : “Abdul Haq berkata: “Sanadnya lemah”. Ibnu Qaththan berkata: “Sebabnya adalah karena Abu Ramlah tidak dikenal, namanya adalah ‘Amir, bahwa beliau tidak diketahui kecuali dengan hal ini yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun”. [Nashbu Ar Rayah: 4/211]

Adapun mereka yang mengatakan bahwa berkurban adalah sunnah, maka mereka berhujjah dengan beberapa hadits marfu’, yang paling penting adalah dua hadits yang telah disebutkan oleh Ibnu Qudamah –rahimahullah-:

Hadits Pertama : Hadits Ibnu Abbas bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

ثَلاثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضُ، وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّعٌ: الْوَتْرُ، وَالنَّحْرُ، وَصَلاةُ الضُّحَى رواه أحمد  2050  والبيهقي  2/467 

Ada tiga hal yang hukumnya wajib bagiku namun ketiganya menjadi sunnah bagi kalian: Shalat witir, berkurban dan shalat dhuha”. [HR. Ahmad: 2050 dan Baihaqi: 2/467]

Hadits ini dilemahkan oleh beberapa ulama terdahulu dan kontemporer, Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Sumbernya bermuara kepada Abu Janab Al Kalbi dari Ikrimah, Abu Janab dha’if, mudallis juga dan telah meriwayatkan melalui ‘an’anah. Para imam menyebut hadits ini dengan lemah, seperti; Ahmad, Baihaqi, Ibnu sholah, Ibnu Jauzi, An Nawawi dan yang lainnya”. [At Talkhis Al Habiir: 2/45 dan bisa dibaca juga pada: 2/258]

Hadits Kedua: Hadits Ummu Salamah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا رواه مسلم  1977 

Jika sudah masuk 10 awal bulan Dzul Hijjah, dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, maka janganlah mencukur rambut  dan kulitnya sedikit pun”. [HR. Muslim: 1977]

Imam Syafi’i berkata : “Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa berkurban hukumnya tidak wajib, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-: “Dan salah seorang mau berkurban”, di sini beliau menyerahkan kepada keinginannya, jika hukumnya wajib maka beliau akan bersabda “Maka janganlah menyentuh rambutnya sampai ia menyembelih hewan kurbannya”. [Al Majmu’: 8/386]

Akan tetapi istidlal (cara pengambilan dalil) ini tidak selamat dari diskusi; karena menyerahkan kepada keinginan tidak bisa dijadikan dalil bahwa hal itu tidak wajib.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata : “Menurut hemat kami bahwa menyerahkan kepada keinginan itu tidak menghilangkan kewajiban, jika ada dalil yang membuktikannya, karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda berkaitan dengan miqat:

هُنَّ لهُنَّ، ولِمَن أتى عليهِنَّ مِن غيرِ أهْلِهِنَّ، لِمَن كان يريد الحَجَّ والعُمْرَةَ

Miqat-miqat ini adalah bagi mereka dan bagi siapa saja yang datang dan bukan berasal dari penduduknya, bagi mereka yang ingin melaksanakan haji dan umrah”.

Dalil ini tidak menghalangi kewajiban haji dan umrah dengan dalil lainnya. Ibadah kurban ini tidak wajib bagi mereka yang kesulitan, jadi dia tidak menginginkannya. Maka ada benarnya membagi masyarakat dengan yang mempunyai keinginan dan orang yang tidak mempunyai keinginan dilihat dari sisi kemudahan hidup dan kesulitannya”. [Ahkamul Udhhiyyah wadz Dzakah:  47]

Kesimpulan:
Bahwa hadits-hadits tentang wajibnya berkurban masih diperdebatkan, meskipun sebagian para ulama telah menganggap sebagiannya hasan. Demikian juga hadits-hadits yang menyatakan bahwa kurban adalah sunnah, bahkan dari sisi sanad lebih dha’if lagi.

Oleh karenanya Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata pada penutupan buku beliau “Ahkam Al Udhhiyyah wa Ad Dakaah”:
“Inilah pendapat para ulama dan dalil-dalil mereka, kami paparkan untuk menjelaskan masalah kurban dan pentingnya dalam agama. Dalil-dalil yang ada hampir sama, dan untuk jaga-jaga jika mampu untuk tidak meninggalkan berkurban; karena di dalamnya terdapat mengagungkan Allah, mengingat-Nya, menggugurkan tanggung jawab dengan penuh keyakinan”.

Ketiga : Yang menguatkan bahwa hukum berkurban tidak wajib adalah dua perkara:
1. Al Bara’atul Ashliyyah (Kembali kepada hukum asal), maka selama tidak ada dalil yang mewajibkan yang selamat dari perdebatan, maka hukum asalnya tidak wajib.

Syeikh Ibnu Baaz berkata : “Hukum berkurban adalah sunnah jika dalam kelapangan rizeki, bukan wajib; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyembelih dua kambing kibas jantan, dan para sahabat juga berkurban di masa hidup beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan setelah beliau meninggal dunia, demikian juga semua umat Islam setelah mereka. Tidak ada satupun dalil syar’i yang menunjukkan hukumnya wajib, pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya wajib adalah pendapat yang lemah”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 18/36)

2. Atsar para sahabat yang shahih.
Telah diriwayatkan dengan shahih dari Abu Bakar, Umar dan yang lainnya bahwa mereka semuanya tidak berkurban; karena khawatir masyarakat akan mengira bahwa hukumnya wajib.

Imam Baihaqi telah meriwayatkan dalam Ma’rifat Sunan wal Atsar (14/16) 18893 dari Abu Suraihah berkata:

  أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَكَانَا لِي جَارَيْنِ وَكَانَا لَا يُضَحِّيَانِ

Saya temasuk orang yang hidup pada masa Abu Bakar dan Umar, dan keduanya adalah tetangga saya, dan beliau berdua tidak berkurban”.

Imam Baihaqi berkata setelahnya : “Kami riwayatkan di dalam kitab Sunan dari hadits Sufyan bin Sa’id ats Tsauri, dari ayahnya, Mutharrif dan Isma’il dari Asy Sya’bi dan pada sebagian ucapan mereka: “Mereka berdua khawatir akan diikuti (oleh masyarakat dalam berkurban)”.  Baca juga: As Sunan Al Kubro: 9/444

An Nawawi berkata di dalam Al Majmu’ (8/383) : “Adapun atsar tersebut tentang Abu Bakar dan Umar –radhiyallahu ‘anhuma- maka telah diriwayatkan oleh Al Baihaqi dan yang lainnya dengan sanad yang hasan”.

Al Haitsami berkata: “Imam Thabrani juga telah meriwayatkannya di dalam Al Kabiir dan para perawinya adalah para perawi hadits shahih”. [Majmu’ Az Zawaid: 4/18 dan telah dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’: 4/354]

Al Baihaqi telah meriwayatkan (9/445) dengan sanadnya dari Abu Mas’ud Al Anshori : “Sungguh saya meninggalkan berkurban padahal saya termasuk yang dimudahkan rizekinya, karena khawatir para tetangga akan melihat bahwa hal itu wajib bagiku”. [Dishahihkan oleh Albani dalam Al Irwa’ juga]

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/35981-berkurban-apakah-sebuah-kewajiban-atau-mustahab-sunnah.html